§
HANG
TUAH
Penggambaran Hang Tuah dari beberapa versi Sulalatus Salatin berbeda, ada yang
menyebutkan bahwa ia dahulunya adalah seorang nelayan miskin. Hang Tuah ialah
seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan
Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka) bermula pada 1400-1511 A.D. ). Menurut
rekod sejarah, beliau lahir di Kampung Sungai Duyong, Melaka kira-kira dalam
tahun 1444 A.D.
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, danHang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) daripada Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, danHang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) daripada Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah
membunuh seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari,
yang di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit, Konon Taming Sari dikenal pandai
berkelahi,kebal senjata dan dapat menghilang ,kemudian dilawan oleh Hang Tuah
diketahui yang membuat Taming Sari sakti terletak pada kerisnya, Hang Tuah
berhasil merebut keris tersebut kemudian membunuh Taming Sari. Kemudian keris
tesebut diambil Hang Tuah dan diberi nama Taming Sari ,
setelah menjadi kepunyaannya dan dipercayakan bahwa keris itu dapat berkuasa
kepada pemiliknya untuk menjadi hilang.
Hang Tuah dituduh berzinah dengan pelayan
Raja, dan di dalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang
tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah
dikirim ke sesebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara.
Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati,
teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan
semua rakyat di situ menjadi kacau-balau. Raja menyesal menghukum mati Hang
Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang
Jebat. Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah daripada tempat
persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh daripada hukumannya oleh raja.
Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya
dari Hang Jebat, dan membunuhnya di dalam pertarungannya. Setelah teman
seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.
§
SYARIF
KASIM II
Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul
Jalil Saifuddin atau Sultan
Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 – meninggal
di Rumbai, Pekanbaru, Riau, 23 April 1968 pada umur 74 tahun) adalah sultan
ke-12 Kesultanan Siak. Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun
menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim.
Sultan Syarif Kasim II adalah seorang
pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia
menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang
harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik. Bersama
sultan Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatera Timur lainnya
untuk turut memihak republik.
§
TUANKU
TAMBUSAI
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau.
Dalu-dalu merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi
sungai Sosah, anak sungai Rokan. Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad
Saleh, yang setelah pulang haji, dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh.
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan
perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari
nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai
ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat.
Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan
tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.
Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan
ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara
bernegara.
Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan
sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan
perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan
gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal
untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh
Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai
cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari
Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat
dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali
walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda,
tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing)
dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda beliau
digelari “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan)
karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai
dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel
Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke
tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda
dan sekutu-sekutunya. Ia mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan,
Malaysia pada tanggal 12 November 1882.
Karena jasa-jasanya menentang penjajahan
Hindia-Belanda, pada tahun 1995 pemerintah mengangkat beliau sebagai pahlawan
nasional.
§
TENGKU
SULUNG
Tengku Sulung adalah seorang pejuang kemerdekaan yang
memfokuskan perlawanannya terhadap kolonial Belanda di daerah Reteh/Sungai
Batang. Tengku Sulung sendiri diperkirakan lahir di Lingga,
Kepulauan Riau.
Sejak Kecil, Sulung dididik dengan ajaran
Islam yang ketat. Pemahamannya tentang Agama Islam membuatnya tidak suka dengan
Belanda. Bahkan Dia tidak mau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Tengku Sulung memperoleh kedudukan sebagai
Panglima Besar Reteh setelah Sultan Muhammad, Sultan Lingga yang berkuasa di
Reteh. Waktu itu Sulung tidak mau tunduk pada Sultan Sulaiman yang diangkat
oleh Belanda untuk kawasan yang sama, menggantikan Sultan Mahammad. Semula
Tengku berkedudukan di Kotabaru Hulu Pulau Kijang sekitar 16 mil dari Pulau
Kijang.
Di Desa ini Tengku Sulung membangun Benteng
yang kelak ditandai dengan adanya Desa Benteng, Sungai Batang, Indragiri Hilir
di Hulu Sungai Batang. Dibenteng itulah pertahanan Tengku Sulung dan pasukannya
dalam melawan Belanda. Perjuangan Tengku Sulung dan Pasukannya terhenti setelah
Belanda membawa Haji Muhammad Thaha, juru tulis Tengku Sulung yang sebelumnya
tertangkap oleh Belanda di Kotabaru.
Tengku Sulung pun di ultimatum oleh Residen
Belanda supaya menyerah kepada Komandan Ekspedisi. Akibatnya penyerangan pada 7
November 1858, banyak menewaskan rakyat Reteh dan Tengku Sulung sendiri juga
ikut tertembak di bagian leher oleh pasukan Belanda
§
RAJA
HAJI FISABILILLAH
Raja Haji Fisabilillah (lahir di Kota Lama, Ulusungai, Riau,
1725 – meninggal di Ketapang, 18 Juni 1784) adalah salah satu pahlawan nasional
Indonesia. Ia dimakamkan di Pulau Penyengat, Indera Sakti, Tanjung Pinang,
Provinsi Kepulauan Riau.Raja Haji Fisabililah merupakan adik kepada Sultan
selangor pertama sultan Salehuddin dan paman sultan Selangor kedua Sultan
Ibrahim. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar
Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah.
Raja Haji Fisabililah atau dikenal juga
sebagai Raja Haji marhum Teluk Ketapang adalah (Raja) Yang Dipertuan Muda
Riau-Lingga-Johor-Pahang IV. Ia terkenal dalam melawan pemerintahan Belanda dan
berhasil membangun pulau Biram Dewa di sungai Riau Lama. Karena keberaniannya,
Raja Haji Fisabililah juga dijuluki (dipanggil) sebagai Pangeran Sutawijaya
(Panembahan Senopati) di Jambi. Ia gugur pada saat melakukan penyerangan
pangkalan maritim Belanda di Teluk Ketapang (Melaka) pada tahun 1784.
Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka (Malaysia) ke Pulau Penyengat oleh
Raja Ja’afar (putra mahkotanya pada saat memerintah sebagai Yang Dipertuan
Muda).
§
RAJA
ALI HAJI
Raja Ali Haji bin Raja
Haji Ahmad atau cukup
dengan nama pena-nya Raja Ali Haji (lahir di Selangor, ca.
1808 – meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1873, masih
diperdebatkan) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis
dan Melayu.
Dia terkenal sebagai pencatat pertama
dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi
standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda
Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja
Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga
merupakan bangsawan Bugis. Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi
pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa,
yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama,
merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara.
Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair
Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji
juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu.
Buku berjudul Tuhfat al-Nafis (“Bingkisan
Berharga” tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat
lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang
menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap.
Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat
dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali
Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang
ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam
(hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan. Kini, ia
ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5
November 2004 lalu.
§
DATUK
TABANO
Dikenal dengan sebutan Gandulo menjadi
Dubalang dari Datuk Tuo dan diberi gelar Datuk Tabano. Gelar ini disematkan
oleh Ninik Mamak suku Melayu Datuk Tua dengan kesepakatan kaum persukuan, di
Kabupaten Kampar.
Datuk Tabano dikenal memegang kekuasaan ketika
negeri sedang carut marut. Dengan memiliki ilmu kebal diri, Datuk Tabano
mampu mempertahankan Limo Koto dari serbuan Belanda yang datang dari hulu.
Sementara pusat pertahanan terletak ditepi sungai Kampar di wilayah batu
dinding rantau berangin. Sedangkan pelocuan tonggak di daerah pulau Ompek Kuok.
Istrinya bernama Halimah Siyam dikarunia dua
anak masing masing bernama Abdullah dan Habibah kesetian Halimah.
Pertengahan tahun 1895, terjadi perang antara
pasukan Belanda dengan pasukan rakyat Limo Koto. Saat pasukan Belanda
memasuki kandang perairan, perahu kompeni tenggelam setelah dihajar pasukan
Tabano.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar